Kamis, 03 September 2009

Nasionalisme

Nasionalisme dalam Perspektif Islam

Nasionalisme menjadi sebuah faham yang telah melekat bagi mayoritas masyarakat Indonesia. Faham yang merupakan manmade ideology (idiologi karya manusia) ini telah menjadi sesuatu yang agung dan dijunjung tinggi melebihi Islam sebagai sebuah dien. Idiologi masionalisme membawa implikasi pada kacaunya tatanan al-wala' wal bara' di tubuh kaum Muslimin.
Fanatisme kebangsaan yang keliru ini bukan muncul begitu saja di negeri ini. Ada intrik dan konspirasi yang dimainkan.

Pengertian Nasionalisme
Nasionalisme berasal dari kata nation yang berarti bangsa. Istilah nasionalisme dalam bahasa Indonesia memiliki dua pengertian: pertama; paham(ajaran) untuk mencintai bangsa dan negara sendiri. Kedua; kesadaran keanggotaan dalam suatu bangsa yang secara potensial atau aktual bersama-sama mencapai, mempertahankan, dan mengabdikan identitas, integritas, kemakmuran, dan kekuatan bangsa itu.
Kecintaan terhadap tempat kelahiran menjadi bagian tak terpisahkan dari perjalanan hidup manusia sebagai makhluk sosial, begitu pula cinta terhadap tanah air, Rasulullah juga mempunyai perasaan cinta terhadap tanah kelahirannya. Hal ini sebagaimana sabda beliau ketika di usir dari Mekkah oleh orang-orang Qurays.
"Sesungguhnya engkau (Makkah) adalah bumi Allah yang paling aku cintai. Dan seandainya kaumku tidak mengeluarkanku darimu maka aku tidak akan keluar."
Cinta tanah air berbeda dengan nasionalisme. Selain mencintai bangsa, Nasionalisme menyerukan persatuan dan bernegara atas nama bangsa, bahasa, ras, suku, sejarah dan batas geografis sebuah wilayah. Itu semua ditempatkan lebih tinggi melebihi Islam.

Sejarah Kemunculan Nasionalisme
Nasionalisme muncul pertama kali di benua Eropa sekitar abad pertengahan. Kesadaran berbangsa - dalam pengertian nation state - dipicu oleh gerakan Reformasi Protestan yang dipelopori oleh Martin Luther di Jerman. Saat itu, Luther yang menentang Gereja Katolik Roma menerjemahkan Perjanjian Baru ke dalam bahasa Jerman dengan menggunakan gaya bahasa yang memukau dan kemudian merangsang rasa kebangsaan Jerman. Terjemahan Injil membuka luas penafsiran pribadi yang sebelumnya merupakan hak ekslusif bagi mereka yang menguasai bahasa Latin, seperti pastor, uskup, dan kardinal. Implikasi yang sedikit demi sedikit muncul adalah kesadaran tentang bangsa dan kebangsaan yang memiliki identitas sendiri. Bahasa Jerman yang digunakan Luther untuk menerjemahkan Injil mengurangi dan secara bertahap menghilangkan pengaruh bahasa Latin yang saat itu merupakan bahasa ilmiah dari kesadaran masyarakat Jerman. Mesin cetak yang ditemukan Johann Gothenberg turut mempercepat penyebaran kesadaran bangsa dan kebangsaa.
Namun demikian, nasionalisme Eropa yang pada kelahirannya menghasilkan deklarasi hak-hak manusia berubah menjadi kebijakan yang didasarkan atas kekuatan dan self interest dan bukan atas kemanusiaan. Dalam perkembangannya nasionalisme Eropa berpindah haluan menjadi persaingan fanatisme nasional antar bangsa-bangsa Eropa yang melahirkan penjajahan terhadap negeri-negeri yang saat itu belum memiliki identitas kebangsaan (nasionalisme) di benua Asia, Afrika, dan Amereika Latin. Fakta ini merujuk pada dua hal, yaitu ledakan ekonomi Eropa pada masa itu yang berakibat pada melimpahnya hasil produksi dan pandangan pemikir Italia, Nicolo Machiaveli, yang menganjurkan seorang penguasa untuk melakukan apapun demi menjaga eksistensi kekuasaannya.
Nasionalisme mulai berkembang di Negeri Islam (kawasan Timur Tengah) pada abad 19 dan awal abad 20. Sejumlah pelajar Timur Tengah yang belajar di Eropa kembali dengan membawa konsep nasionalisme yang dipelajari di Barat. Konsep Barat tentang patria (tanah air) mempengaruhi kata wathan dalam bahasa Arab dengan memberi pengertian politik padanya. Mereka menganggap bahwa kemajuan yang dicapai Eropa dipengaruhi oleh kuatnya patriotisme individu dan masyarakat terhadap negara.

Pemikiran Nasionalisme
Nasionalisme tidak hanya perasaan cinta terhadap tanah air dan bangsa. Namun lebih dari itu, nasionalisme merupakan sebuah ideologi dan paham kecintaan tanah air, bangsa dan negara di atas segalanya. Hal ini dapat kita lihat dari beberapa pemikiran nasionalisme berikut:

1. Wala' dan Bara' atas Nama Bangsa
Nasionalisme memberikan wala' (loyalitas) dan bara' (permusuhan), cinta dan benci, hak dan kewajiban atas nama bangsa dan batas-batas geografis. Sehingga tidak ada perbedaan antara kafir dan mukmin, orang yang bermaksiat dengan orang yang taat kepada Allah dalam memberikan kecintaan dan permusuhan selama mereka masih dalam satu negara.
Dengan demikian akan menuntut seorang mukmin untuk mencintai orang kafir dan musyrik selama mereka berada dalam satu negara dan bersikap bara' kepada mukmin yang tinggal di luar negaranya. Sikap yang demikian akan menghapus wala' dan bara' yang berdasarkan ikatan iman. Karena agama Islam menuntut untuk berwala' kepada orang mukmin dan berbara' kepada orang kafir dimanapun mereka berada, baik dalam satu negara atau pun tidak. Padahal wala' dan bara' merupakan tuntutan keimanan seseorang. Seseorang tidak dapat dikatakan beriman sebelum berwala' kepada orang-orang mukmin dan berbara' kepada orang-orang kafir. Allah berfirman:
"Hai orang-orang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mu'min. Inginkah kamu mengadakan alasan yang nyata bagi Allah (untuk menyiksamu)." (An Nisa : 144)
Diriwayatkan dari Muslim, Rasulullah bersabda:
"Tidak termasuk golongan kami orang yang menyeru kepada ashabiyah jahiliyah, tidak termasuk golongan kami orang yang membunuh karena ashabiyah dan tidak termasuk golongan kami orang yang marah karena ashabiyah." (HR. Muslim).

2. Nasionalisme Menyeru kepada Kesyirikan
Nasionalisme menyeru kepada kesyirikan. Karena diantara idiologinya adalah rela berkorban dan menyerahkan jiwa raga untuk bangsa. Seperti ungkapan, Padamu negeri kami berjanji, Padamu negeri kami berbakti, Padamu negeri kami mengabdi, bagimu negeri jiwa raga kami.
Ungkapan seperti ini menunjukkan peribadahan kepada bangsa dan negara. Karena sesungguhnya berserah diri dan mengorbankan jiwa raga hanyalah untuk Allah semata. Maka berserah diri dan berkorban kepada selain Allah merupakan perbuatan syirik. Allah berfirman:
"Katakanlah: sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidup dan matiku hanyalah untuk Allah, Rabb semesta alam. Tiada sekutu bagiNya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah). Al An'am : 162-163)

3. Membebaskan manusia dari Agama
Diantara ideologi Nasionalisme adalah menyerukan pembebasan menusia dari kepercayaan kepada yang ghaib dan kepercayaan kepada Agama. Ideologi ini mengambil slogan,"Agama untuk Tuhan dan tanah air untuk semua". Tujuan slogan ini ialah untuk menjauhkan Islam dari para pemeluknya.
Nasionalisme menganggap, bahwa agama adalah kendala yang harus disingkirkan demi membangun masa depan bangsa. Islam yang mengajarkan wala' dan bara' dianggap sebagai pemecah persatuan dalam sebuah bangsa.
Mereka juga meyakini kemajuan yang dicapai Eropa dipengaruhi oleh kuatnya nasionalisme masyarakat terhadap negara. Hal ini tergambar dari pernyataan Al-Tahtawi, seorang nasionalisme Arab berpengaruh, bahwa"Patriotisme adalah sumber kemajuan dan kekuatan, sarana untuk mengatasi jarak antara wilayah Islam dengan Eropa." Sehingga menurut mereka, bila sebuah bangsa ingin maju, maka harus memisahkan masyarakatnya dari agama.

Bersambung....

KOKAM

KOKAM