Rabu, 20 Juli 2011

KOKAM Sabiilillah: Pilot Project Liar Penguasa Indonesia

Pilot Project Liar Penguasa Indonesia

Pilot Project Liar Penguasa Indonesia

Insiden Ponpes Bima Rawan Jadi Pilot Project Liar Penutupan Ponpes Ngruki

By: Mustofa B. Nahrawardaya
Koordinator Indonesian Crime Analyst Forum (ICAF) & Anggota Majelis Pustaka dan Informasi PP Muhammadiyah


PERNAHKAH anda membayangkan bagaimana caranya membuat citra Pondok Pesantren —yang selama ini dikenal berisi orang-orang menuntut ilmu agama— agar nampak buruk, radikal, dan dikesankan berisi orang-orang yang melawan ideologi negara? Sepertinya sangat susah.

Ternyata dengan sebuah peristiwa ledakan bom rakitan, hal itu bisa dilakukan. Bahkan, dengan hanya dengan satu ledakan kecil di Pondok Pesantren di pelosok kampung, hampir semua orang kemudian menuntut pentingnya pengawasan ekstra ketat terhadap semua Pondok Pesantren di Seluruh Indonesia. Seluruh perhatian kemudian terpusat pada pentingnya mengendalikan pondok pesantren agar terhindar dari pengaruh radikalisme dan terorisme.

Itulah yang disebut sebagai ‘dampak’. Bom adalah peristiwanya, dan citra buruk sebagai dampaknya.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), “dampak” diartikan sebagai pengaruh kuat yang mendatangkan akibat, baik itu akibat negatif maupun akibat positif. (2008: 313).

Karena yang diinginkan bernama dampak, maka kadang peristiwanya bisa direkayasa sedemikian rupa agar dampak yang ditimbulkan bisa sesuai dengan keinginan pembuat peristiwa. Meski begitu, dampak dari peristiwa kadang juga di luar dugaan pembuat peristiwa. Namun yang pasti, dampak yang diinginkan sangat mudah dicapai dengan peristiwa yang diciptakan.

Mau tahu bagaimana sebuah peristiwa sangat penting untuk mendapatkan dampak yang diinginkan? Perhatikan fakta-fakta berikut:

Pertama, pasca Bom Bali 1 yang terjadi pada Oktober 2002 yang menewaskan 202 orang, pemerintah kemudian membabi buta memburu seluruh orang-orang yang pernah belajar bom semacam Amrozi. Mereka tak tidak lain, adalah para veteran Mujahidin yang pernah berjuang dan berjihad di Afghanistan, Ambon dan Maluku. Jumlah mereka, menurut beberapa sumber, mencapai 3000 orang. Sebagian dari 3000 veteran mujahidin ini sudah dihabisi aparat di Indonesia maupun negara-negara tetangga. Maka dari itu, tidak sedikit pengamat menduga, peristiwa Bom Bali sengaja diciptakan untuk memaksa pemerintah agar bersemangat memburu para veteran mujahidin Indonesia, demi membalas dendam terhadap kejadian 9/11 yang merontokkan tower WTC di Amerika. Bagaimanapun, peristiwa 9/11 telah mempermalukan Amerika di mata negara-negara sedunia.

....Setiap hari muncul nama baru yang dikait-kaitkan dari kadang dari terduga yang sudah ditembak mati....

Dan, ternyata dampak dari Bom Bali 1 benar-benar sukses. Pemerintah sangat bersemangat memburu mereka, dengan bantuan dana dan perlengkapan dari Amerika. Yang menjadi janggal, teroris kini tidak pernah habis meski Densus sudah menangkapi dan menembak mati dedengkot-dedengkot yang dituding teroris macam Noordin M Top, Dr Azahari, Dulmatin, dan lain-lain. Setiap hari muncul nama baru yang dikait-kaitkan dari kadang dari terduga yang sudah ditembak mati.

Kedua, Berbagai peristiwa bom di Indonesia pasca Bom Bali 1 juga meninggalkan dampak luar biasa. Banyak keluarga Muslim yang misalnya istrinya mengenakan cadar, berbaju gamis, celana ngantung, berjenggot, atau semacam itu, akhirnya menjadi terkucilkan. Mereka bahkan sudah tercap sebagai ‘kelompok’ calon teroris meskipun tidak melakukannya.

Ini gara-gara Polisi sering membiarkan media over blow-up mengambil gambar dan mempublikasikan terduga pelaku bom yang selalu bercelana ngantung, berjenggot, berbaju gamis, dan beristri cadaran. Dan anehnya, cara-cara ini terus menerus digunakan oleh Densus 88 setiap kali ada peristiwa bom.

Lebih bodoh lagi, Densus 88 tak segan menyertakan kitab suci Umat Islam bernama Al-Qur’an sebagai barangbukti terorisme. Mungkin dengan kebijakan murahan itu, ada keinginan agar penyitaan Al-Qur’an bisa berdampak negatif: agar orang Islam takut menyimpan Al-Qur’an di rumah. Atau orang Islam takut membawa bahkan menampakkan Al-Qur’an di tempat umum.

....Lebih bodoh lagi, Densus 88 tak segan menyertakan kitab suci Umat Islam bernama Al-Qur’an sebagai barangbukti terorisme....

Yang memprihatinkan, cara-cara polisi menggelandang terduga teroris, sangat mirip cara pasukan Amerika. Dan sudah seperti pemandangan di Timur Tengah: terborgol, terantai kakinya, dilakban matanya, dan diseret-seret. Jika melihat itu, kita sepertinya tidak sedang berada di Indonesia yang dikenal santun. Jangan-jangan seluruh pasukan Densus 88 itu tampak beringas karena berbeda agama dengan para Mujahidin?

Ketiga, Kasus terakhir, bom di Pondok Pesantren Umar Bin Khatthab (UBK) Bima, Nusa Tenggara Barat. Tidak jelas, siapa yang merakit, menaruh, dan meledakkan bom itu. Yang jelas, sebelum ada bom, dikabarkan anggota Polsek setempat yakni Brigadir Rokhmad tewas dibunuh oleh salah satu santri ponpes UBK. Pada Kamis tanggal 30 Juni 2011 siang, polisi naas itu ditikam pelaku bernama Saban Abdurrahman. Sebenarnya publik juga belum mengetahui latar belakang penusukan itu, mengapa tiba-tiba ada penusukan hingga menewaskan seorang polisi. Satu-satunya sumber, hanya datang dari polisi sendiri. Kata polisi, pelaku menikam polisi karena ada perintah tuhan untuk membunuh korban yang dianggap kafir.

Tahu-tahu, sebuah bom meledak beberapa hari setelah polisi menangkap pelaku penusukan. Tepatnya Senin tanggal 11 Juli 2011, sebuah bom kecil tiba-tiba meledak di dalam ponpes UBK. Siapa yang merakit, dan meledakkan bom itu? belum diketahui. Dengan adanya ledakan tersebut, kini ada alasan polisi untuk memasuki pondok. Polisi lalu menangkapi santri dan kembali menenteng satu peti Al-Qur’an sebagai barangbukti, selain beberapa barangbukti lain yang ‘lazim’ ditemukan di TKP bom: VCD Jihad, rangkaian bom, CPU, printer, dan lain-lain.

Polisi juga menyebut dugaan adanya bom adalah untuk membalas dendam polisi karena menangkap Ubaid, salah satu tersangka pelatihan militer yang konon ada kaitan dengan Ponpes UBK! Belakangan polisi mengaitkan mereka dengan JAT-nya Ustadz Abu Bakar Ba’asyir karena ada jaket bertuliskan Jamaah Ansharut Tauhid.

Dampak berikutnya, beberapa tokoh masyarakat buru-buru menyuarakan perlunya pemerintah mengawasi semua pondok pesantren. Salah satu ormas Islam underbow PBNU, GP Ansor malah langsung membentuk Densus 99 untuk membantu Densus 88 —sebuah langkah yang rancu. Sudah tentu, banyak yang meminta agar ponpes UBK nantinya akan ditutup.

....Bisa jadi, peristiwa di Ponpes Bima adalah sebuah pilot project liar untuk kelak bisa dipakai polanya, menutup Ponpes Al-Mukmin Ngruki di Solo....

Jika benar ponpes UBK ditutup, itulah dampak paling berbahaya. Karena jika hanya karena sebuah ledakan kecil kemudian berhasil menutup operasi sebuah Pondok Pesantren, maka kejadian serupa akan terulang di pondok pesantren lain. Ingat, masih ribuan veteran Mujahidin yang belum dihabisi aparat. Artinya, mereka bisa saja satu demi satu digilir dan dibuat sedemikian rupa agar terlibat dalam aksi terorisme yang melibatkan ponpes tertentu, lalu dipakai alasan untuk menutup Pondok Pesantren itu.

Bisa jadi, peristiwa di Ponpes Bima adalah sebuah pilot project liar untuk kelak bisa dipakai polanya, menutup Ponpes Al-Mukmin Ngruki di Solo. Apalagi Ustadz Abu Bakar Ba’asyir sudah mendekam di tahanan, kemungkinan melakukan aksi serupa di Ngruki sungguh sangat mudah. Apakah caranya dengan akan ‘ledakan’ juga, atau dengan variasi lain? Kita tunggu. [taz/voa-islam.com]

KOKAM

KOKAM