Selasa, 29 November 2011

Pejuang Syariat Islam

Pejuang Syariat Islam

Selasa, 09 Agustus 2011

Kemenangan di awal Ramadhan

KABUL (Arrahmah.com) – Alhamdulillah, ini sungguh-sungguh hadiah Ramadhan yang sangat spesial dan berita gembira untuk kaum Muslimin, khususnya mujahidin. Di antara 38 orang yang tewas di helikopter Chinook, Sabtu (6/08/2011), milik militer AS di Afghanistan timur, 22 orangnya adalah pasukan elit kafir Navy SEAL, yang telah menyerang dan menewaskan Syekh Usamah bin Laden, rahamihullah. Allahu Akbar!

Selengkapnya Klik

Rabu, 20 Juli 2011

KOKAM Sabiilillah: Pilot Project Liar Penguasa Indonesia

Pilot Project Liar Penguasa Indonesia

Pilot Project Liar Penguasa Indonesia

Insiden Ponpes Bima Rawan Jadi Pilot Project Liar Penutupan Ponpes Ngruki

By: Mustofa B. Nahrawardaya
Koordinator Indonesian Crime Analyst Forum (ICAF) & Anggota Majelis Pustaka dan Informasi PP Muhammadiyah


PERNAHKAH anda membayangkan bagaimana caranya membuat citra Pondok Pesantren —yang selama ini dikenal berisi orang-orang menuntut ilmu agama— agar nampak buruk, radikal, dan dikesankan berisi orang-orang yang melawan ideologi negara? Sepertinya sangat susah.

Ternyata dengan sebuah peristiwa ledakan bom rakitan, hal itu bisa dilakukan. Bahkan, dengan hanya dengan satu ledakan kecil di Pondok Pesantren di pelosok kampung, hampir semua orang kemudian menuntut pentingnya pengawasan ekstra ketat terhadap semua Pondok Pesantren di Seluruh Indonesia. Seluruh perhatian kemudian terpusat pada pentingnya mengendalikan pondok pesantren agar terhindar dari pengaruh radikalisme dan terorisme.

Itulah yang disebut sebagai ‘dampak’. Bom adalah peristiwanya, dan citra buruk sebagai dampaknya.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), “dampak” diartikan sebagai pengaruh kuat yang mendatangkan akibat, baik itu akibat negatif maupun akibat positif. (2008: 313).

Karena yang diinginkan bernama dampak, maka kadang peristiwanya bisa direkayasa sedemikian rupa agar dampak yang ditimbulkan bisa sesuai dengan keinginan pembuat peristiwa. Meski begitu, dampak dari peristiwa kadang juga di luar dugaan pembuat peristiwa. Namun yang pasti, dampak yang diinginkan sangat mudah dicapai dengan peristiwa yang diciptakan.

Mau tahu bagaimana sebuah peristiwa sangat penting untuk mendapatkan dampak yang diinginkan? Perhatikan fakta-fakta berikut:

Pertama, pasca Bom Bali 1 yang terjadi pada Oktober 2002 yang menewaskan 202 orang, pemerintah kemudian membabi buta memburu seluruh orang-orang yang pernah belajar bom semacam Amrozi. Mereka tak tidak lain, adalah para veteran Mujahidin yang pernah berjuang dan berjihad di Afghanistan, Ambon dan Maluku. Jumlah mereka, menurut beberapa sumber, mencapai 3000 orang. Sebagian dari 3000 veteran mujahidin ini sudah dihabisi aparat di Indonesia maupun negara-negara tetangga. Maka dari itu, tidak sedikit pengamat menduga, peristiwa Bom Bali sengaja diciptakan untuk memaksa pemerintah agar bersemangat memburu para veteran mujahidin Indonesia, demi membalas dendam terhadap kejadian 9/11 yang merontokkan tower WTC di Amerika. Bagaimanapun, peristiwa 9/11 telah mempermalukan Amerika di mata negara-negara sedunia.

....Setiap hari muncul nama baru yang dikait-kaitkan dari kadang dari terduga yang sudah ditembak mati....

Dan, ternyata dampak dari Bom Bali 1 benar-benar sukses. Pemerintah sangat bersemangat memburu mereka, dengan bantuan dana dan perlengkapan dari Amerika. Yang menjadi janggal, teroris kini tidak pernah habis meski Densus sudah menangkapi dan menembak mati dedengkot-dedengkot yang dituding teroris macam Noordin M Top, Dr Azahari, Dulmatin, dan lain-lain. Setiap hari muncul nama baru yang dikait-kaitkan dari kadang dari terduga yang sudah ditembak mati.

Kedua, Berbagai peristiwa bom di Indonesia pasca Bom Bali 1 juga meninggalkan dampak luar biasa. Banyak keluarga Muslim yang misalnya istrinya mengenakan cadar, berbaju gamis, celana ngantung, berjenggot, atau semacam itu, akhirnya menjadi terkucilkan. Mereka bahkan sudah tercap sebagai ‘kelompok’ calon teroris meskipun tidak melakukannya.

Ini gara-gara Polisi sering membiarkan media over blow-up mengambil gambar dan mempublikasikan terduga pelaku bom yang selalu bercelana ngantung, berjenggot, berbaju gamis, dan beristri cadaran. Dan anehnya, cara-cara ini terus menerus digunakan oleh Densus 88 setiap kali ada peristiwa bom.

Lebih bodoh lagi, Densus 88 tak segan menyertakan kitab suci Umat Islam bernama Al-Qur’an sebagai barangbukti terorisme. Mungkin dengan kebijakan murahan itu, ada keinginan agar penyitaan Al-Qur’an bisa berdampak negatif: agar orang Islam takut menyimpan Al-Qur’an di rumah. Atau orang Islam takut membawa bahkan menampakkan Al-Qur’an di tempat umum.

....Lebih bodoh lagi, Densus 88 tak segan menyertakan kitab suci Umat Islam bernama Al-Qur’an sebagai barangbukti terorisme....

Yang memprihatinkan, cara-cara polisi menggelandang terduga teroris, sangat mirip cara pasukan Amerika. Dan sudah seperti pemandangan di Timur Tengah: terborgol, terantai kakinya, dilakban matanya, dan diseret-seret. Jika melihat itu, kita sepertinya tidak sedang berada di Indonesia yang dikenal santun. Jangan-jangan seluruh pasukan Densus 88 itu tampak beringas karena berbeda agama dengan para Mujahidin?

Ketiga, Kasus terakhir, bom di Pondok Pesantren Umar Bin Khatthab (UBK) Bima, Nusa Tenggara Barat. Tidak jelas, siapa yang merakit, menaruh, dan meledakkan bom itu. Yang jelas, sebelum ada bom, dikabarkan anggota Polsek setempat yakni Brigadir Rokhmad tewas dibunuh oleh salah satu santri ponpes UBK. Pada Kamis tanggal 30 Juni 2011 siang, polisi naas itu ditikam pelaku bernama Saban Abdurrahman. Sebenarnya publik juga belum mengetahui latar belakang penusukan itu, mengapa tiba-tiba ada penusukan hingga menewaskan seorang polisi. Satu-satunya sumber, hanya datang dari polisi sendiri. Kata polisi, pelaku menikam polisi karena ada perintah tuhan untuk membunuh korban yang dianggap kafir.

Tahu-tahu, sebuah bom meledak beberapa hari setelah polisi menangkap pelaku penusukan. Tepatnya Senin tanggal 11 Juli 2011, sebuah bom kecil tiba-tiba meledak di dalam ponpes UBK. Siapa yang merakit, dan meledakkan bom itu? belum diketahui. Dengan adanya ledakan tersebut, kini ada alasan polisi untuk memasuki pondok. Polisi lalu menangkapi santri dan kembali menenteng satu peti Al-Qur’an sebagai barangbukti, selain beberapa barangbukti lain yang ‘lazim’ ditemukan di TKP bom: VCD Jihad, rangkaian bom, CPU, printer, dan lain-lain.

Polisi juga menyebut dugaan adanya bom adalah untuk membalas dendam polisi karena menangkap Ubaid, salah satu tersangka pelatihan militer yang konon ada kaitan dengan Ponpes UBK! Belakangan polisi mengaitkan mereka dengan JAT-nya Ustadz Abu Bakar Ba’asyir karena ada jaket bertuliskan Jamaah Ansharut Tauhid.

Dampak berikutnya, beberapa tokoh masyarakat buru-buru menyuarakan perlunya pemerintah mengawasi semua pondok pesantren. Salah satu ormas Islam underbow PBNU, GP Ansor malah langsung membentuk Densus 99 untuk membantu Densus 88 —sebuah langkah yang rancu. Sudah tentu, banyak yang meminta agar ponpes UBK nantinya akan ditutup.

....Bisa jadi, peristiwa di Ponpes Bima adalah sebuah pilot project liar untuk kelak bisa dipakai polanya, menutup Ponpes Al-Mukmin Ngruki di Solo....

Jika benar ponpes UBK ditutup, itulah dampak paling berbahaya. Karena jika hanya karena sebuah ledakan kecil kemudian berhasil menutup operasi sebuah Pondok Pesantren, maka kejadian serupa akan terulang di pondok pesantren lain. Ingat, masih ribuan veteran Mujahidin yang belum dihabisi aparat. Artinya, mereka bisa saja satu demi satu digilir dan dibuat sedemikian rupa agar terlibat dalam aksi terorisme yang melibatkan ponpes tertentu, lalu dipakai alasan untuk menutup Pondok Pesantren itu.

Bisa jadi, peristiwa di Ponpes Bima adalah sebuah pilot project liar untuk kelak bisa dipakai polanya, menutup Ponpes Al-Mukmin Ngruki di Solo. Apalagi Ustadz Abu Bakar Ba’asyir sudah mendekam di tahanan, kemungkinan melakukan aksi serupa di Ngruki sungguh sangat mudah. Apakah caranya dengan akan ‘ledakan’ juga, atau dengan variasi lain? Kita tunggu. [taz/voa-islam.com]

Sabtu, 09 Juli 2011

KOKAM Sabiilillah: Jihad Dalam Islam

KOKAM Sabiilillah: Jihad Dalam Islam

Jihad Dalam Islam


Jihad Dalam Islam


Apakah (orang-orang) yang memberi minuman orang-orang yang mengerjakan haji dan mengurus Masjidilharam kamu samakan dengan orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian serta bejihad di jalan Allah? mereka tidak sama di sisi Allah; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang zalim. (At-Taubah:19)

Hai Nabi, berjihadlah (melawan) orang-orang kafir dan orang-orang munafik itu, dan bersikap keraslah terhadap mereka. tempat mereka ialah Jahannam. dan itu adalah tempat kembali yang seburuk-buruknya. (At-Taubah:73)

Hai orang-orang yang beriman, perangilah orang-orang kafir yang di sekitar kamu itu, dan hendaklah mereka menemui kekerasan daripadamu, dan ketahuilah, bahwasanya Allah bersama orang-orang yang bertaqwa. ( At-Taubah:123)

diwajibkan atas kamu berperang, Padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. boleh Jadi kamu membenci sesuatu, Padahal ia Amat baik bagimu, dan boleh Jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, Padahal ia Amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui. (Al-Baqarah:216)

Ayat-ayat tentang persoalan ini masih banyak. Sedangkan hadits yang berkaitan dengan tema ini di antarantya adalah sebagai berikut:

Hadits riwayat Muslim dari Abu Hurairah, dia berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam pernah ditanya, ‘Amalan apa yang paling utama?’ Beliau menjawab,’Beriman kepada Allah.’ ‘Kemudian?’ Beliau menjaab,’Jihad di jalan Allah.’ ‘lalu?’ Beliau menjawab,’Haji mabrur.” (Shohih Muslim, Kitab Al-Iman, no. 135 dan Shohih Bukhari, I/77.

Hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari danm muslim dari Abdullah bin Abi Aufa, bahwa pada hari pertemuan dengan musuh, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam menunggu sampai matahari condong lalu beliau berdiri di hadapan banyak orang dan bersabda,”Wahai manusia, janganlah kalian berharap untuk berjumpa musuh. Mohonlah keselamatan kepada Allah. Jika kalian berjumpa musuh, bertahanlah. Ketahuilah, sesungguhnya surge berada di bawah naungan pedang. (Al-Lu’lu’ wa Al-Marjan, no. 1137)

Dari Abu Hurairah, dia berkata,”Datang seorang laki-laki kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam, berkata’Wahai Rasulullah, beri tahukanlah padaku suatu amalan yang setara dengan jihad di jalan Allah!’ Rasulullah menjawab, ‘Tidak ada’. Lalu beliau bersabda,’ Apakah kamu mampu, ketika seorang mujahid pergi berjuang di jalan Allah, kamu masuk masjid, lalu berdiri sholat dan tidak berhenti, dan kamu berpuasa tanpa berbuka?’ Ia berkata, ‘Aku tidak akan mampu.’” HR. Bukhori, IV/6

Dari Imran bin Al-Hushain, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda, “Keberadaan seseoranbg di barisan jihad di jalan Allah lebih utama daripada ibadah seseorang selama 60 tahun.” (Sunan Darami, 2401)

Dari Abu Hurairah berkata,”Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda, “Setiap orang yang meninggal akan ditutup amalnya, kecuali para penjaga perbatasan (murabith) di jalan Allah. Sesungguhnya amalnya akan terus mengalir sampai dia dibangkitkan.” (Sunan Abu Daud, 4158) (HR. Ahmad, IV/150

Uqbah bin Amir setiap akan keluar rumah untuk latihan memamah, meminta seseorang untuk mengikutinya. Dia pun berkata,”Tampaknya orang ini hamper merasa bosan.” Lalu dia berkata,”Maukah kamu kuberi tahu hadits yang kudengar dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam?” Orang itu menjawab,”Baiklah.” Dia pun berkata,”Aku mendengar beliau Shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda,” Sesungguhnya Allah memasukkan ke syurga tiga orang lantaran satu buah anak panah, yaitu pembuatnya, yang membuatnya untuk kebaikan, orang yang mempersiapkannya di jalan Allah; dan orang yang melemparkannya di jalan Allah…”(HR. Ahmad, IV/148)

Sebuah riwayat, telah diterima dari Salamah bin Nufail al Kindi, dia berkata: Ketika aku sedang duduk di dekat Rasulullah , tiba-tiba ada seorang lelaki bertanya: “Wahai Rasulullah, orang-orang sudah tidak lagi mengurus kuda mereka dan meletakkan senjata mereka, dan mereka mengatakan: Tak ada lagi jihad, perang telah usai!. Rasulullah menghadapkan wajahnya dan berkata: "Mereka dusta!. Sekarang telah datang masa perang, dan akan senantiasa ada di antara umatku sekelompok orang yang berperang membela kebenaran, dan Allah memalingkan hati banyak kaum pada mereka dan memberi rizki mereka dari (harta musuh) mereka hingga hari kiamat tiba, sehingga janji Allah datang. Kuda itu tertambat pada ubun-ubunnya kebaikan hingga hari kiamat."Thaifatul Manshurah :Abu Basyir,Sunan an Nasa’ie – no: 3333.

Hadits tentang jihad masih sangat banyak, sampai Al-Hafizh Ibnu Asakir menyusun sebuah kitab dengan judul “Al-Arba’un fi Al-Hatsi ‘Ala Al-jihad” (40 Hadits tentang Anjuran Jihad).

Dari nash-nash ini dan banyak lagi nash yang lain, kaum muslimin menjadi tahu bahwa jihad merupakan kewajiban yan telah ditetapkan oleh Allah atas kaum Muslimin. Allah merangsang mereka aghar gemar berjihad, lalu Allah memberikan pahala dan balasan di akhirat atas ketaatan ini, yang tidak diberikan dalam ibadah dan ketaatan lain. Secara otomatis jihad akan menjadi fardhu ain bagi setiap Muslim yang mampu di negeri Islam.

Manakala jihad merupakan kewajiban umat Islam, maka Allah memerintahkan mereka mempersiapkan diri untuk berjihad. Allah berfirman,

"dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu dan orang orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya. apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalasi dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan)". ( Al-Anfal:60)

Mempersiapkan segenap kemampuan adalah suatu kewajiban yang mengiringi kewajiban jihad. Ayat di atas memerintahkan untuk mempersiapkan kekuatan dengan beragam bentuk, jenis, dan sarananya. Secara khusus, ayat ini menyebutkan tentang kuda-kuda yang ditambatkan, karena memang kuda adalah alat yang baik di segala medan. Kita masih ingat perang Afganistan? Walau sudah banyak mobil dan angkutan modern namun ternyata kuda masih sangat di butuhkan dalam peperangan itu. Islam harus memiliki kekuatan untuk bergerak dimuka bumi ini demi membebaskan umat manusia. Sasaran dari kekuatan ini adalah:

  1. Meyakinkan orang-orang yang telah memilih aqidah Islam, sehingga setelah mereka berpegang teguh padanya dan tidak akan mudah terbujuk.
  2. Menggetarkan musuh Allah dan musuh Muslimin, sehingga mereka tidak berpikir untuk menyerang atau menganggu.
  3. Menggetarkan musuh-musuh sehingga mereka tidak berpikir untuk menghentikan penyebaran Islam dalam rangka membebaskan seluruh umat manusia dari belenggu kekafiran.
  4. Menghancurkan seluruh kekuatan yang menyematkan sifat ketuhanan pada dirinya. Dan menundukkan dunia pada kekuasaan Allah

Kemudian dalam kitab Mukhtashar Ibnu Katsir ada keterangan hadits sebagai berikut. Dari Uqbah bin Amir, dia berkata,”Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda dan beliau sedang berdiri di atas mimbar, “Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi. Ketahuilah bahwa kekuatan itu adalah melempar (membidik), ketahuilah bahwa kekuatan itu adalah melempar (membidik), ketahuilah bahwa kekuatan itu adalah melempar (membidik).”(HR. Muslim, Abu Daud, dan lainnya)

Satu hal yang perlu digarisbawahi di sini adalah bahwasannya melempar (membidik) merupakan suatu ketrampilan yang dapat diperoleh dengan belajar dan latihan yang kontinyu. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam memerintahkan para sahabatnya untuk belajar dan latihan membidik (memanah). Imam Bukhari meriwayatkan dari Salamah bin Al-Akwa’ berkata,” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam keluar menemui kelompok orang Bani Aslam yang sedang berlomba membidik (memanah), lalu beliau bersabda,’Wahai Bani Ismail, membidiklah (memanahlah), sebab nenek moyang kalia adalah ahli membidik (memanah). Membidiklah (memanahlah), sementara aku di pihak Bani Fulan.’ Kemusian salah satu pihak menahan diri tidak jadi membidik (memanah). Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam pun bersabda,’Mengapa kalian tidak jadi membidik (memanah)?’ Mereka menjawab, ‘Bagaimana kami membidik (memanah), sedangkan Anda di pihak mereka?’ Beliau bersabda,’membidiklah (memanahlah), aku bersama kalian semua’. Lalu mereka saling berlomba membidik (memanah). Yang satu tidak melebihi yang lain.” (HR. Bukhari)

Demikianlah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam mendidik para sahabatnya dalam keterampilan membidik (memanah). Keahlian membidik (melempar) dan ketepatan sasaran sampai sekarang masih menjadi salah satu kekuatan angkatan perang yang paling fenomenal. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam pun memperingatkan umatnya untuk tidak meninggalkan keterampilan membidik (melempar). Imam Ahmad meriwayatkan dari Uqbah bin Amir, dia berkata,”Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda:

“Barangsiapa meninggalkan keterampilan membidik (melempar) setelah ia mengetahuinya, maka itu berarti kenikmatan yang di kufuri”. (HR. Ahmad dan Tirmidzi, hadits hasan shohih).

Dalam tafsir Taisir Al-Karim Ar-rahman fi Tafsir Kalam Al-manan ada keterangan sebagai berikut.” …Persiapkanlah untuk menghadapi musuh-musuh kafirmu yang terus berusaha menghancurkan kalian dan memusnahkan Din kalian, segala hal yang kalian mampu, baik berupa daya intelektual, kekuatan fisik, segala macam alat perang, dan sebagainya. Dengan kata lain, mempersiapkan semua hal yang dapat mendukung untuk memerangi mereka. Termasuk di dalamnya adalah pembangunan pabrik senjata yang memproduksi berbagai macam senjata dan alat perang, sarana pertahanan, serta strategi perang dan politik, yang dengannya kaum Muslimin akan maju dan kuat.”Oleh karena itu , rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda: “ Ketahuilah, bahwa kekuatan itu adalah membidik (melempar)…”

Satu hal yang perlu kita perhatikan adalah bahwasannya persiapan untuk jihad itu mencakup dua aspek pokok, yaitu personal dan peralatan, namun persiapan personal lebih di dahulukan daripada peralatan. Kita bisa mengkaji tentang kisah peperangan Rasulullah dan para sahabat meskipun jumlah pasukan dan persenjataan terbatas namun bisa mengalahkan pasukan yang jauh lebih banyak dan peralatan jauh lebih lengkap, dan pernah mengalami kerugian dan hampir diujung kekalahan walaupun dari segi jumlah dan peralatan memadai. Semua itu dikarenakan oleh faktor personal-personal. Seperti dalam perang Uhud dan perang Hunain. Dan kita bisa mengkaji juga kisah-kisang perang modern saat ini misalnya, Afganistan, Iraq, Chechnya, Pakistan dan lain sebagainya.

Bahkan persiapan itu sendiri seharusnya dimulai sejak berada dibuaian ibu, khususnya persiapan jihad, karena jihad ini menuntut persiapan spiritual, intelektual, sikap mental dan fisik. Kaum Muslimin dalam rangka melaksanakan kewajiban jihad dutuntut untuk melaksanakan tarbiyah askariyah untuk seluruh generasi umat Islam. Karena tarbiyah askariyah merupakan bagian dari terbiyah Islamiyah.

Yang perlu lebih ditekankan lagi adalah kewajiban tarbiyah askariyah atas seluruh umat Islam. Perang itu memerlukan peralatan dan latihan fisik lebih-lebih penguatan ruhiyah yang siap memikul beban perang, pengetahuan berbagai teknik perang, dan keberanian yang telah ditempa sejak kecil. Setiap orang Muslim harus memperhatikan masalah ini. Ada atsar dari sahabat Nabi yang memerintahkan kita untuk menaruh perhatian pada generasi penerus kita yang berbunyi,” Ajarilah anak-anakmu berenang, membidik (melempar), menunggang kuda, dan suruhlah melompat ke punggung kuda. (Sa’id Hawwa, Jundullah, 252)

Jika berenang itu untuk menguatkan tubuh, mengencangkan otot, dan melarutkan lemak, maka membidik dengan menggunakan berbagai macam alat perang merupakan teknik perang yang sangat penting sampai saat ini. Seharusnya semua mujahid Islam berlatih menggunakan semua jenis alat tersebut, seperti pistol, senapan, senapan otomatis, granat, roket, mortal , dan sebagainya.

Tentang menunggang kuda, di samping kuda adalah tunggangan yang efektif di segala medan ternyata berlatih menunggang kuda juga melatih keseimbangan dan memacu kecerdasan seorang anak, maka ketika ada anak yang autis maka disarankan untuk dilatih menunggang kuda. Demikian juga berlatih memanah, dengan berlatih memanah maka otak seorang anak akan terlatih untuk fokus dan itu juga termasuk sesuatu yang bisa memacu kecerdasan seorang anak.

Manakala fungsi Daulah Islamiyah/Khilafah Islamiyah adalah untuk menundukkan dunia pada kekuasaan Allah, maka wajib atasnya untuk mempersiapkan suatu persiapan sempurna yang menuntut adanya personal terlatih dan spesialis. Namun semua ini tidak mudah dilakukan, kecuali bila umat ini merupakan para pejuang dan selalu siap berperang. Oleh karenanya, Allah berfirman:

Hai orang-orang yang beriman, bersiap siagalah kamu, dan majulah (ke medan pertempuran) berkelompok-kelompok, atau majulah bersama-sama! (An Nisa : 71)

Berangkatlah kamu baik dalam Keadaan merasa ringan maupun berat, dan berjihadlah kamu dengan harta dan dirimu di jalan Allah. yang demikian itu adalah lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.(At Taubah : 41)

(KOKAM Sabiilillah)

Minggu, 05 Juni 2011

Ketika Yahudi Menado Kian Merekah

Hidayatullah.com–Sebuah tugu baru menjulang setinggi 62 kaki di sebuah puncak dataran tinggi pinggiran kota Menado. Bangunan itu tidak lain sebuah menorah raksasa, yang mungkin ukurannya paling besar di seluruh dunia. Menorah adalah salah satu lambang suci peribadatan Yahudi.

Lama dikenal sebagai daerah yang banyak dihuni penganut dan misionaris Kristen, wilayah tersebut kini semakin banyak menampakkan identitas Yahudi. Dengan restu dari pemerintah daerah setempat, orang-orang keturunan Yahudi Belanda membuat ruang bagi komunitas mereka di kawasan itu.

Bendera-bendera Israel terlihat di pelataran ojek dekat tugu menorah raksasa. Salah satunya terletak di dekat sebuah sinagog yang dibangun sekitar enam tahun lalu. Bintang Daud besar menghiasi langit-langit sinagog itu. Tugu, sinagog dan fasilitasnya semua dibangun dengan biaya dari kas pemerintah daerah.

Sebelum meminta bantuan dari komunitas Yahudi lain di luar Indonesia, kaum Yahudi setempat mempelajari ajaran agama mereka lewat internet. Halaman-halaman Taurat hasil cetakan dari internet mereka kumpulkan. Rekaman video berisi ajaran Yahudi mereka unduh dari YouTube. Mereka bertanya tentang agamanya kepada Rabi Google.

“Kami hanya berusaha menjadi Yahudi yang baik,” kata Toar Palilingan, 27, sebagaimana dikutip The New York Times (22/11). Memimpin sebuah acara makan malam perayaaan Sabbath di kediaman keluarganya, Toar mengenakan pakaian ala Yahudi, dengan topi hitam lebar, kemeja putuh dengan setelan jas warna hitam.

Bersama sekitar sepuluh orang Yahudi, mereka biasanya beribadah di sebuah sinagog peninggalan Belanda di pinggiran kota Menado.


“Tapi jika dibandingkan dengan Yahudi di Yerusalem atau Brooklyn,” kata Toar Palilingan yang kini juga dikenal dengan nama Yaakov Baruch, “kami belum sebanding.”

Indonesia dan Israel tidak memiliki hubungan diplomatik, namun sejak berpuluh-puluh tahun lalu secara diam-diam pemerintah telah melakukan kerjasama di bidang militer dan ekonomi dengan negara Zionis itu. Beberapa tahun belakangan, para pengusaha dari Israel dan Yahudi dari negara lain secara diam-diam berkunjung ke Indonesia untuk mencari peluang usaha.

Salah satu di antaranya adalah Moshe Kotel. Pria berusia 47 tahun ini lahir di El Salvador namun memiliki kewarganegaraan Israel dan Amerika Serikat. Dia telah mengunjungi Manado setiap tahun sejak 2003 dan memiliki bisnis telur organik. Kotel yang memiliki istri orang Manado mengatakan gugup, ketika pertama kali mendarat di bandara setempat.

“Waktu itu sudah pukul 11 malam. Dan saya membawa tefilin,” cerita Kotel. Tefilin adalah sepasang kotak kulit kecil hitam tempat menyimpan gulungan perkamen berisi ayat-ayat Torah yang biasa dililitkan di tangan dan lengan ketika mereka membaca kitab sucinya.

“Tapi setelah melihat ada bendera-bendera Israel di taksi-taksi bandara, saya selalu merasa diterima di sini,” katanya.

Pemerintah Sulawesi Utara mendirikan tugu menorah itu tahun lalu dengan biaya 150.000 dolar, kata Margarita Rumokoy, kepala Dinas Pariwisata setempat.

Denny Wowiling, seorang anggota DPRD, mengatakan dirinya mengajukan pembangunan menorah itu setelah melihat tugu serupa yang terdapat di depan gendung Knesset di Israel. Katanya, dia berharap tugu itu dapat menarik turis-turis dan pengusaha dari Eropa berkunjung ke daerahnya.

“Agar orang-orang Yahudi melihat bahwa ada simbol sakral ini, simbol sakral mereka, di luar negaranya,” kata Denny yang seorang penganut Kristen Pantekosta.

Dua tahun sebelum menorah raksasa itu didirikan, sebuah developer Kristen juga mendirikan patung Yesus setinggi 98 kaki di puncak sebuah bukit di sana. Ukurannya sekitar 3/4 dari patung Kristus Redeemer yang terkenal dari kota Rio de Janeiro.

Menurut Anthony Reid, seorang pakar masalah Asia Tenggara di Universitas Nasional Australia, pada masa penjajahan Belanda komunitas Yahudi menguasai bisnis di banyak kota dagang di Indonesia. Seringkali mereka menjalani usaha real estate, bertindak sebagai penghubung antara pemerintah kolonial dan penguasa setempat.

Pada masa sebelum kemerdekaan, keluarga keturunan Yahudi Belanda di Menado menjalankan agama mereka secara terang-terangan. Setelah itu mereka pindah agama Kristen atau Islam dengan alasan untuk keamanan.

“Kami menyuruh anak-anak agar jangan pernah bicara tentang leluhur Yahudi kami,” kata Leo van Beugen, 70, yang dibesarkan sebagai pengikut Katolik Roma. “Jadi cucu-cucu tidak tahu.” Van Beugen adalah kakek-pamannya Toar Palilingan.

Baru lebih dari sepuluh tahun lalu, ketika mereka berdebat tentang Bibel dan Musa, nenek-bibinya mengungkap tentang darah Yahudi mereka.

Toar Palilingan yang bekerja sebagai dosen di Universitas Sam Ratulangi, memiliki ayah seorang Kristiani dan ibu seorang Muslim. Mereka juga menjadi dosen di tempat yang sama. Saudara dari keluarga ibunya merupakan keturunan imigran Yahudi Belanda abad ke-19, Elias van Beugen.

Nenek-bibinya menyarankan Toar menemui keluarga Bollegraf, salah satu keluarga Yahudi terpandang di Menado. Oral Bollegraf yang kini berusia 50 tahun, menganut Kristen Pantekosta sepanjang hidupnya, tapi dia tahu bahwa kakeknya adalah orang yang memelihara satu-satunya sinagog di Menado di rumah keluarganya.

“Dulu kami tidak tahu kalau kami Yahudi,” kata Bellograf yang belum lama ini mengunjungi Israel bersama Toar Palilingan. “Tapi semua orang di kota ini mengetahui kami keluarga Yahudi.”

Toar melakukan kontak dengan rabi Mordechai Abergel, seorang utusan gerakan Chabad Labavitch di Singapura. Chabad Lubavitch sendiri bermarkas di Brooklyn, Amerika Serikat. Menurut Abergel, Toar Palilingan telah melakukan sebuah “usaha yang hebat” untuk menyambung kembali akar Yahudinya, meskipun dia belum melakukan perpindahan agama secara penuh.

Untuk menunjukkan komitmennya pada apa yang dia sebut sebagai “kemurnian” ajaran Yahudi ultra Ortodoks, Toar Palilingan kadang mengenakan pakaian khas Yahudi berupa setelan warna hitam putih saat berada di tempat-tempat umum di Menado, bahkan ketika dia berada di Jakarta.

“Kebanyakan orang Indonesia belum pernah bertemu orang Yahudi, jadi mereka mengira saya dari Iran atau tempat lain,” kata Toar. “Suatu kali, sekelompok demonstran Islam datang mendekati dan berkata, ‘Assalamu’alaikum’,” cerita Toar Palilingan.[di/nyt/hidayatullah.com]

Sumber: http://hidayatullah.com/cermin-a-features/f/14348-ketika-yahudi-menado-kian-merekah

Kamis, 14 April 2011

Israel Membombardir Gaza dengan Bom Fosfor


Israel Membombardir Gaza dengan Bom Fosfor


GAZA – Aksi brutal Israel yang terus membombardir Jalur Gaza dalam sepekan terakhir membuat Rumah Sakit Asy-Syifa, Gaza, tak mampu melayani korban yang terus berdatangan. Hingga hari ini, Senin (11/4), tercatat 20 orang gugur dan dan ratusan lainnya luka parah.

Dalam surat elektroniknya yang dikirimkan kepada Republika.co.id, Abdillah Onim (Ketua MER-C Indonesia Cabang Gaza) mengatakan sebagian besar korban luka akibat serangan Israel dalam kondisi kritis. “Mereka akan mengalami cacat seumur hidup, karena kehilangan beberapa anggota tubuh,” ujarnya.

Onim menambahkan, berbagai sumber medis di Gaza mengungkapkan bahwa serdadu Zionis kembali menggunakan senjata kimia terlarang berupa fosfor putih yang pernah digunakan pada 2008 dan 2009 lalu. “Bom fosfor putih sangat berbahaya dan menyebabkan kematian, karena setiap anggota tubuh yang terkena bom itu akan melepuh dan terbakar,” kata relawan MER-C yang hingga kini masih menetap di Gaza ini.

Sementara itu, Menteri Kesehatan Gaza Basseem Naim, menyatakan Israel telah menggunakan senjata terlarang selama serangan beberapa hari ini. Semua korban yang mengalami cedera terjadi hampir terbakar di seluruh bagian tubuh mereka. “Fakta ini menunjukkan bahwa tentara Zionis telah menggunakan senjata kimia fosfor putih dalam serangkaian serangan ke Gaza,” ujarnya.

Agresi sistematis dan terprogram Israel dilakukan tanpa pandang bulu dengan menargetkan serangan terhadap perempuan, anak-anak dan orang tua. Bahkan serangan Israel juga telah melukai tim medis.

Sebuah mobil ambulans dihajar rudal Israel ketika berusaha mengevakuasi korban. Serangan terhadap ambulans tersebut mengakibatkan tewasnya seorang paramedik, sedangkan pengemudinya dalam keadaan luka parah.

Naim mengaku heran dengan sikap masyarakat internasional yang membisu tatkala Israel secara membantai rakyat Palestina secara brutal. “Kami heran dengan kebisuan masyarakat dunia atas kejahatan Israel tersebut. Sementara mereka menekan Palestina agar tetap tenang dan tidak merespons aksi keji Israel,” kata Naim.

Rakyat Gaza Butuh Rumah Sakit

Selain itu, Naim juga meminta kepada otoritas Mesir, dalam hal ini kementerian kesehatan Mesir agar mau menerima beberapa korban untuk dirawat di Rumah Sakit di Mesir. Hal ini karena terbatasnya sarana dan prasarana yang tersedia di Rumah Sakit di Jalur Gaza. Naim khawatir, jika serangan ini terus berlanjut dan menelan banyak korban, maka Rumah Sakit di Gaza dipastikan takkan mampu menampung jumlah korban yang terus berjatuhan. “Keberadaan Rumah Sakit di daerah konflik seperti Gaza memang sangat mendesak, karena dipastikan korban akan banyak berjatuhan serta memerlukan penanganan segera,” ujarnya.

Oleh sebab itu, lanjut Naim, proyek pembangunan Rumah Sakit Indonesia (RSI) di Gaza akan segera dimulai pembangunannya pada April 2011 ini akan sangat bermanfaat bagi para korban perang. Karena RSI ini didesain khusus untuk menangani berbagai korban yang mengalami trauma dan rehabilitasi serta membutuhkan penanganan segera.

Menurut Onim, RSI ini direncanakan akan dibangun dengan kapasitas 100 tempat tidur dengan ruang operasi yang cukup luas. Diharapkan Rumah Sakit yang dibangun dengan dana sumbangan rakyat Indonesia ini bisa membantu para korban perang di Jalur Gaza. “Sehingga mereka tak perlu lagi keluar dari Gaza, serta menempuh jarak yang cukup jauh untuk berobat,” kata lelaki asal Maluku yang baru-baru ini menikah dengan Muslimah Gaza itu. (republika.co.id, 11/4/2011)

Senin, 21 Maret 2011

Kenapa Kaum Yahudi Benci Pohon Zaitun

Kaum Yahudi Menumbangkan Ratusan Pohon Zaitun di Tepi Barat

Oleh: Umar Abdurrahman Hizbullah di AWG (Aqsa Working Group)

Nablus & Hebron (AWG) – Buldoser Israel pada hari Rabu (16/03) menumbangkan dan mencuri pohon zaitun di Desa Beit Dajan, sebuah desa sebelah timur Nablus, menurut saksi mata.

Mereka mengatakan tentara, dengan bantuan dari pemerintahan sipil Israel menyerbu tanah Jamal Abu Kanaan dan mulai menumbangkan pohon-pohon itu.

Lebih dari tujuh kendaraan militer, sebuah buldoser dan sebuah truk yang tergabung dalam aksi pencabutan pohon-pohon zaitun kemudian membawa pohon-pohon tersebut pergi, menurut Nasser Abu Jaish, kepala desa Beit Dajan.

Dia mengatakan bahwa sekitar 150 pohon yang ditumbangkan.

Ini adalah ketiga kalinya buldoser menyerang tanah Abu Kanaan dan menumbangkan pohon-pohon Zaitun.

Pada hari yang sama, Warga desa At-Tuwani, di perbukitan Hebron selatan, Palestina, menduga seseorang telah menghancurkan pohon zaitun mereka di malam hari.

Penduduk desa mengatakan bahwa pelakunya adalah pemukim Israel dari pos ilegal dekat Havat Ma’on.

“Pemukim Israel melakukan ini. … Mereka melakukan ini karena terbunuhnya pemukim Israel di dekat Nablus”, kata Fadil Ahmed Raba’i, mengacu pada pembunuhan baru-baru ini dari lima pemukim di permukiman Israel “Itamar”, di Tepi Barat.

Pohon-pohon yang hancur berusia sekitar 15 tahun dan akan menghasilkan buah zaitun di panen musim gugur. Pohon tersebut milik empat warga dari At-Tuwani.

At-Tuwani sering mengalami pengrusakan di kebun zaitun sejak pembangunan pemukiman Israel “Ma’on” pada tahun 1984. Baru-baru ini, pada tanggal 21 Februari 2011, Raba’i melaporkan bahwa tiga pohon zaitun milik keluarganya telah rusak.

Sejak, pertengahan 1980-an warga Palestina di desa Tuwani dan desa-desa sekitarnya sering menghadapi ancaman dan tindak kekerasan serta intimidasi dari pemukim Israel, namun mereka tetap berkomitmen untuk melakukan perlawanan tanpa kekerasan.

Karena penduduk desa di wilayah ini bergantung pada pertanian lahan kering, agresi yang dilakukan penjajah Israel mengakibatkan kerusakan pada pohon atau tanaman atau penolakan akses terhadap lahan pertanian merupakan ancaman signifikan kepada masyarakat Palestina.

KONSPIRASI DIBALIK PENUMBANGAN POHON ZAITUN DI PALESTINA

Menurut laporan beberapa sumber, pohon Zitun merupakan pohon yang diberkahi. Banyak sekali penyebutan Zaitun di dalam Al Qur’an, Allah Azza wa Jalla bersumpah dengan zaitun tersebut dalam firman Nya: ”Demi pohon Tien dan Zaitun.” (At-Tin 1-2), dan firmanNya dalam surat An-Nuur ayat 35 , ”Dinyalakan (dengan minyak) dari sebuah pohon yang diberkahi, (yaitu) zaitun yang tidak tumbuh di sebelah timurnya dan tidak pula disebelah baratnya, hampir-hampir minyaknya saja menerangi walaupun tidak disentuh api” dan beberapa ayat dalam Al-Quran serta hadits yang meyuratkan kata Zaitun.

Pohon yang keluar dari Tursina, yang menghasilkan minyak dan menjadi kuat bagi yang mengkonsumsinya. hasil zaitun telah memberikan andil istimewa dalam mengangkat tingkat keamanan pangan bagi orang-orang Palestina. Menghadapi berbagai peperangan dan serangan terhadapnya dari penjajah Israel dalam sejarah Palestina yang panjang, pohon zaitun tetap berdiri kokoh dan mengakar di perbukitan dan gunung-gunung Palestina. Pohon zaitun bagi rakyat Palestina merupakan simbol perjuangan dan mengakar di tempatnya. Pohon zaitun bagi mereka juga merupakan simbol keagungan dan kebanggaan di langit, dan simbol perjalanan sejarah di zaman ini.

Insinyur pertanian Muhammad Abdul Halim, warga Palestina asal Nablus, Tepi Barat, menganggap serangan terhadap Pohon Zaitun merupakan “target strategis khusus”. Terlebih hasil Zaitun dari lahan pertanian merupakan salah satu faktor ketahanan pangan Palestina dan juga salah satu bahan konsumsi terpenting bagi warga Palestina, sekaligus salah satu simbol terpenting bagi perjuangan dan pengakaran sejarah di tanah Palestina.

Penjajah Israel sangat memahami akar sejarah dan rahasia kekuatan rakyat Palestina yang sangat sulit ditundukkan. Maka, menghancurkan Pohon-pohon Zaitun, adalah salah satu cara melumpuhkan semangat perjuangan rakyat Palestina. Bagi Israel, selama Zaitun masih tumbuh subur di bumi Palestina, maka mereka terus akan menghadapi pejuang dengan fisik yang tangguh dan semangat yang sangat tinggi. Selama Pohon Zaitun kokoh berdiri maka Israel akan sulit mengalahkan pejuang palestina karena ketahanan pangan dan iman mereka terus terjaga. Bagi Israel, robohnya Zaitun akan berakibat pada terputusnya suplai pangan bergizi, runtuhnya semangat, menurunnya perlawanan dan terkoyaknya sejarah mulia tanah Palestina. (Umar/ M.N./F.J.)

(abu dzakir)

Ini Videonya


Jumat, 18 Maret 2011

KOKAM: Pluralisme

KOKAM: Pluralisme

Pluralisme

Pluralisme

Perdebatan dan kontroversi tentang masalah Pluralisme kembali menghangat di Indonesia. Meskipun masalah ini sudah banyak ditulis dan didiskusikan, pro-kontra itu terus saja berlangsung. Dalam mencermati hiruk-pikuk wacana “Pluralisme” pada umumnya, dan “Pluralisme Agama” khususnya, yang tengah marak di negeri kita pada dasawarsa pertama abad ke-21 ini; pun juga d
alam berbagai kesempatan mengisi berbagai workshop, seminar dan konferensi, khusus mengenai isu dan wacana tersebut, saya merasa gamang, ada sesuatu yang sangat mengusik nalar kesadaran.

Bagaimana tidak? Wacana ini sudah sedemikian melebar dan meluas, serta merambah ke berbagai ranah, dan disahami oleh berbagai kalangan – mulai dari politisi, budayawan, agamawan sampai akademik, tapi topik utama yang diwacanakan ini nyaris tidak pernah benar-benar diupayakan pendefinisiannya secara teknis atau sesuai dengan yang dimaksudkan oleh para ahlinya. Padahal inilah langkah metodologis awal yang mesti dilakukan oleh siapa pun yang interest dan berkepentingan dengan isu ini. Lebih dari itu, sebetulnya masalah ini adalah masalah tuntutan logis belaka yang niscaya, yang jika diabaikan maka secara tak terhindarkan akan menciptakan tidak saja kerancuan atau kebingungan (confusion), tapi juga pada akhirnya mengaburkan dan bahkan menyesatkan (misleading).

Para ulama kita terdahulu dari berbagai bidang dan disiplin ilmu ternyata sangat peka dan menyadari betapa krusialnya problem definisi ini sebelum mereka mengupas bahasan-bahasan di bidang masing-masing secara detail. Para fuqaha’, misalnya, begitu sistematis dalam mengupas masalah-masalah fiqh, dimulai dengan definisi-definisi yang gamblang secara lughawy maupun teknisnya: apa itu taharah, wudhu, tayammum, mandi, dsb. Tapi sayang sekali, dewasa ini model dan tradisi semacam ini tampak banyak ditinggalkan oleh kalangan kita, khususnya dalam hal berwacana Pluralisme Agama.

Entah karena sebab oversight atau apa, yang jelas pada hakekatnya tidak banyak di kalangan kita yang mencoba mengerti atau memahami, apalagi mempersoalkan problem definisi ini dengan betul dan bijak. Seakan-akan istilah Pluralisme Agama ini sudah cukup jelas dan, oleh karenanya, boleh taken for granted. Padahal, istilah “pluralisme” itu jelas-jelas istilah (baca: ideologi) pendatang yang merangsek ke alam sadar dan di-bawah-sadar kita bersama-sama dengan istilah-istilah dan ideologi-ideologi asing yang lain, seperti democracy, humanism, liberalism, dsb. yang tentu saja tidak bisa kita maknai seenak kita atau menurut “selera” dan asumsi kita.

Secara umum dapat dikatakan bahwa kebanyakan orang yang ditokohkan di kalangan kita beranggapan secara simplistis bahwa “pluralisme adalah toleransi” atau “pluralisme agama adalah toleransi agama”. Fakta ini dapat dilihat daripada ingar-bingarnya reaksi dan respon yang cenderung “emosional” terhadap fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang dikeluarkan pada tahun 2005 tentang hukum haramnya Sekularisme, Pluralisme dan Liberalisme (atau yang dikenal dengan SIPILIS), dan juga terhadap resolusi Muzakarah Ulama Se-Malaysia, 2006, di Negeri Perak, Malaysia, yang dibacakan oleh Mufti Perak, Datuk Dr. Harussani, yang menegaskan hukum yang sama dengan fatwa MUI. Yang menyedihkan, anggapan atau asumsi simplistik ini tidak hanya terbatas pada kalangan “awam” (yang memang tak terdidik secara akademis dalam bidang ini), tapi hatta kalangan para tokoh atau yang ditokohkan yang memang spesialisasi akademiknya di bidang ini pun tampak begitu over-confident dengan pemahamannya yang simplistik.

Salah satu contoh yang paling konkrit adalah sebuah Disertasi Doktor di Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta, yang kemudian diterbitkan pada awal tahun 2009 yang lalu dengan judul Argumen Pluralisme Agama: Membangun Toleransi Berbasis Al-Qur’an. Dalam buku ini tak nampak ada upaya yang serius dari pengarangnya untuk mendiskusikan definisi teori atau faham Pluralisme Agama yang menjadi topik utama bahasannya, malah terjebak pada pengertian yang keliru di atas tadi. Pembaca yang cermat tidak perlu bersusah-payah melongok kedalamnya, dari judul saja sudah cukup untuk mengetahui apa gerangan yang dimaksudkan oleh pengarangnya tentang faham Pluralisme Agama ini, yang tiada lain adalah “toleransi agama”.

Tapi meskipun demikian, anehnya buku ini mendapat sambutan yang luar biasa oleh media massa kita, dan juga sanjungan dan pujian yang sangat berlebihan dari sederet nama orang-orang yang ditokohkan di masyakarat Indonesia dengan latar-belakang yang beragam yang jumlahnya lebih dari selusin. Hal ini semakin membuktikan betapa kacaunya dunia pemikiran dan akademik di kalangan kita.

Anggapan bahwa “pluralisme agama adalah toleransi agama” adalah anggapan subyektif yang jelas-jelas ditolak oleh para pakar dan penganjur pluralisme sendiri. Diana L. Eck, direktur The Pluralism Project di Universitas Harvard, Amerika Serikat, misalnya, dalam penjelasan resminya yang berjudul What is Pluralism?” dan diulangi dalam “From Diversity to Pluralism” (masing-masing bisa diakses dan dibaca pada http://pluralism.org/pluralism/what_is_pluralism.php, dan http://pluralism.org/pluralism/essays/from_diversity_to_pluralism.php), menyuguhkan empat karakteristik utama untuk mendefinisikan faham ini secara detail. Dia menyatakan salah satunya bahwa “pluralism is not just tolerance,” yang bermakna “pluralisme bukanlah sekedar toleransi.” Pernyataan yang lebih kurang sama juga dia sampaikan dalam keynote addressnya yang berjudul “A New Religious America: Managing Religious Diversity in a Democracy: Challenges and Prospects for the 21st Century” pada MAAS International Conference on Religious Pluralism in Democratic Societies, di Kuala Lumpur, Malaysia, Agustus 20-21, 2002. Lebih lanjut ia berkata dalam keynote addressnya ini:

I would propose that pluralism goes beyond mere tolerance to the active attempt to understand the other... Although tolerance is no doubt a step forward from intolerance, it does not require new neighbors to know anything about one another. Tolerance comes from a position of strength. I can tolerate many minorities if I am in power, but if I myself am a member of a small minority, what does tolerance mean? ... a truly pluralist society will need to move beyond tolerance toward constructive understanding... Tolerance can create a climate of restraint, but not a climate of understanding. Tolerance is far too fragile a foundation for a religiously complex society, and in the world in which we live today, our ignorance of one another will be increasingly costly. (penegasan dari penulis)

(Saya usulkan bahwa pluralisme itu lebih dari sekadar toleransi menjadi upaya aktif memahami (orang/kelompok)yang lain… Meski tak diragukan lagi toleransi itu selangkah lebih maju daripada intoleransi, ia tidak menuntut orang-orang yang bertetangga baru untuk tahu sedikit pun antara satu dengan lainnya. Toleransi muncul dari pihak yang kuat posisinya. Saya dapat toleran dengan banyak kelompok minoritas jika saya kuat (berkuasa), tapi jika saya sendiri dari kelompok minoritas, apa artinya toleransi? … suatu masyarakat yang betul-betul pluralis perlu melampaui toleransi menuju pemahaman yang konstruktif… Toleransi dapat menciptakan iklim pengekangan-diri, tapi bukan iklim (saling) memahami. Toleransi adalah pondasi yang sangat rapuh dan rentan bagi sebuah masyarakat yang beragam agama, dan di dunia dimana kita hidup sekarang ini, ketidak-tahuan kita antara satu dengan lainnya ongkosnya (yang harus dibayar) akan semakin mahal).

Jadi sangat jelas sekali apa yang dimaksudkan dengan pluralisme oleh kaum pluralis sejati. Mereka tidak mengingkari pentingnya toleransi, “There is no question that tolerance is important,” kata Eck dalam makalahnya yang lain (“From Diversity to Pluralism”), tapi segera setelah itu ia tambahkan:but tolerance by itself may be a deceptive virtue” (tetapi toleransi itu sendiri boleh jadi menjadi suatu budi-pekerti/kebaikan yang menipu). Pandangan miring terhadap toleransi ini sebetulnya sudah mulai dilantunkan kalangan pemikir pluralis semenjak tahun 60-an pada abad ke-20 yang lalu.

Sebut saja, misalnya, Albert Dondeyne yang dalam bukunya, Faith and the World, yang terbit di Dublin oleh Gill and Son pada tahun 1963, menulis pada halaman 231: “Let us note that was what then called tolerance would be considered today as the expression of systematic intolerance. In other words, tolerance was then almost synonymous with moderate intolerance.” (Mari kita catat bahwa apa yang dahulu dinamakan toleransi, kini telah dianggap sebagai sebuah ekspresi ketidaktoleranan yang sistematis. Dalam istilah lain, toleransi dengan begitu hampir sinonim dengan intoleransi yang moderat).

Bahkan sebelumnya Arnold Toynbee, seorang sejarawan Inggris terkemuka, dalam bukunya, An Historian’s Approach to Religion, yang terbit di London oleh Oxford University Press, tahun 1956, sudah mewanti-wanti bahwa “toleransi tidak akan memiliki arti yang positif, bahkan “tidak sempurna dan hakiki, kecuali apabila manifestasinya berubah menjadi kecintaan. (hal. 251)

Yang perlu digaris-bawahi di sini adalah bahwa bagi kalangan pluralis sejati, Pluralisme pada umumnya dan Pluralisme Agama pada khususnya bukanlah toleransi sebagaimana yang jamak di(salah)fahami oleh kalangan pluralis. Penekanan Pluralisme lebih pada “kesamaan” atau “kesetaraan” (equality) dalam segala hal, termasuk “beragama”. Setiap pemeluk agama harus memandang sama pada semua agama dan pemeluknya. Pandangan ini pada akhirnya akan menggerus konsep keyakinan ”iman-kufur”, ”tauhid-syirik”, dalam konsepsi Islam.

Al-Quran jelas menyebut orang mukmin sebagai ”khairul bariyyah” (sebaik-baik makhluk), sedangkan orang kafir disebut ”syarrul bariyyah” (seburuk-buruk makhluk). Bahkan, al-Quran juga tidak menyetarakan antara orang shaleh dengan orang jahat (fasik). Orang yang paling mulia disisi Allah adalah orang yang taqwa. Maka, Islam punya konsep kesetaraan sendiri yang jelas berbeda dengan konsep kesetaraan kaum Pluralis Agama.

Karena itu, memang umat Islam harus sangat berhati-hati dalam mengadopsi satu istilah atau paham yang jika tidak berhati-hati akan dapat merusak keimanannya sendiri. Islam – sejak awal kelahirannya – sudah memiliki konsep yang jelas bagaimana memandang agama lain dan bagaimana berhubungan dengan pemeluk agama lain. Seharusnya konsep inilah yang digali dan dikembangkan, bukan justru mengadopsi konsep yang lahir dari masyarakat yang selama ratusan tahun tidak mengakui bahkan menindas keberagaman (pluralitas). (***)

KOKAM

KOKAM